Just another WordPress.com site

 

 

REFERAT PARKINSON                                     

Gangguan  Otonom Buang Air Kecil pada Parkinson Disease

Oleh : dr. Hernawan

 

 

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA

 

 

Gangguan  Otonom Buang Air Kecil pada Parkinson Disease

A. Pendahuluan

Parkinson disease merupakan penyakit dengan gangguan gerak yang berhubungan dengan degenerasi neuron dopamine di substansia nigra.1 Telah dikenal neuropatologi yang mendasari PD, meliputi berbagai area otak sebagai sistem nigrostriatal dopaminergik, meliputi area yang secara langsung mengandung kontrol motorik,seperti locus careolus, nucleus vagal dorsal, raphe nuclei batang otak, hypothalamus, tuberculum olfactorii, dan bagian besar kortek limbik dan neocortex. Patologi juga berkembang ke sistem saraf otonom perifer, meliputi ganglia simpatis, cardiac simpathetis efferent, pleksus mienterikus usus. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa pasien dengan PD memiliki gejala nonmotorik bervariasi. Disfungsi nonmotor pada PD dapat mendahului tanda dan gejala motor yang nyata, dan hipotesis sekarang tentang tahap neuropatologi PD memperkirakan bahwa patologi Lewy bodies pada sistem nigrostriatal hanya berkembang setelah area batang otak dan sistem olfaktorius terkena.2

Pasien PD sering memperlihatkan gangguan non motor yang meliputi, gangguan neuropsikiatri, gangguan tidur, gangguan sensorik dan gangguan otonom. Disfungsi genitourinaria merupakan salah satu gangguan otonom yang sering terjadi. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa disfungsi ini memiliki hubungan signifikan dengan kualitas hidup dan ekonomi kesehatan. Secara khusus penting dicatat, tidak seperti gangguan otonom, disfungsi ini sering tidak berespon dengan levodopa, diperkirakan bahwa hal ini terjadi melalui patomekanisme yang komplek. Untuk alasan ini, penambahan terapi dibutuhkan untuk memaksimalkan kualitas hidup pasien.1

B. Epidemiologi

Prevalensi gejala traktus urinarius bawah (LUTS) pada parkinson’s disease (PD) berkisar 38-71%. Walau demikian, sulit untuk memperkirakan seberapa besar pengaruh PD terhadap LUTS. Hal ini karena tidak hanya PD, tetapi juga laki- laki, usia > 60 tahun dapat mengalami obstruksi akibat BPH. Wanita juga dapat mengalami stress inkontinensia urin. Yang mirip “ idiopatik DO” dapat terjadi pada laki laki dan perempuan usia > 65 tahun sebagai bagian iskemik otak laten. Pada studi PD yang didiagnosis berdasarkan kriteria modern, prevalensi LUTS ditemukan 27-63,9% menggunakan validasi kuesioner atau 53% pada laki- laki dan 63% pada perempuan menggunakan kuesioner non-validasi , yang meliputi kategori inkontinensia urin, dimana semua nilai- nilai ini menjadi lebih signifikan setelah munculnya gangguan motorik.1

Pada sumber lain dikatakan, penelitian urodinamik pada pasien PD dengan keluhan BAK dipercaya bahwa 60-90% memiliki hiperrefleksia detrusor, sebagai akibat dari kontraksi kandung kemih yang tidak tepat pada volume kandung kemih yang sedikit. Bentuk ini tidak khas untuk gangguan neurologis sentral tetapi kadang dapat terlihat pada obstruksi leher kandung kemih. Keluhan obstruksi jarang terjadi akibat arefleksia/ hiporefleksia detrusor yang disebabkan karena hilangnya kontraksi pada kandung kemih.3

Table 1.  Bentuk keluhan berkemih pada pasien dengan PD dan keluhan urologi.3

Disfungsi kandung kemih

keluhan

frekuensi

Iritatif Frekuensi, urgensi 57-83%
obstruksi Hesitancy,post-voiding dribbling 17-23%

Table 2. Etiologi inkontinensia urin pda usia lanjut.3

Transient and new onset incontinencia Urinary tract infection

Medications

Faecal impactionsChronic incontinenceParkinsonism

Lack of mobility

Anatomic stress incontinence

Bladder neck obstruction

Dementia or apathy

Other peripheral or central neurological disorders

Inkontinensia urin pada PD sering terjadi bersamaan dengan inkontinensia fekal, tetapi tidak ada hubungan yang signifikan yang terlihat antara gangguan kandung kemih dan gangguan seksual. Dan juga, gangguan kandung kemih secara substansi mempengaruhi kualitas hidup pasien PD. Araki dan Kuno memperlihatkan hubungan antara disfungsi kandung kemih pasien PD dengan kecacatan neurologis dan disfungsi kandung kemih dengan tahap penyakit, keduanya dihasilkan hubungan antara degenerasi dopaminergik dan LUTS. Walaupun demikian, Carpas Saura dkk tidak menemukan hubungan tersebut. LUTS lebih sering terjadi pada group PD berusia tua daripada PD usia muda. Keluhan penyimpanan merupakan keluhan paling sering pada tipe simptom LUTS. Keluhan penyimpanan meliputi nokturia, dimana merupakan keluhan yang paling sering dilaporkan pada pasien PD (>60%). Pasien juga mengeluh urgensi berkemih (33-54%) dan frekuensi berkemih  harian (16-36%). Inkontinensia urin terlihat pada 26% laki- laki dan 28% pada wanita pasien PD.1

Walaupun lebih jarang daripada keluhan penyimpanan , keluhan berkemih juga dapat terjadi pada PD. Pada studi yang dilakukan oleh Sakakibara, dkk ,bahwa pasien PD memiliki penurunan yang signifikan untuk memulai berkemih ( 44%) pada laki- laki, kelemahan aliran air kencing ( 70% pada laki- laki) dan menahan kencing ( 28% hanya pada wanita ) dibandingkan group kontrol. Araki dkk mencatat hubungan antara keluhan berkemih dengan tahap penyakit. Walaupun memiliki keluhan berkemih, pasien PD memiliki residu pasca berkemih yang sedikit. Jadi terlihat lebih rasional bahwa DO merupakan gambaran disfungsi kandung kemih pada PD.1

Pada Jurnal keluhan traktus urinarius bawah pada demensia dengan lewy bodies, parkinson dan alzaimer, disebutkan bahwa, prevalensi keluhan trakus urinarius bawah (LUTS, frekuensi, urgensi,dan urge inkontinensia) pada PD berhubungan dengan usia, demensia, durasi dan progresivitas keluhan motorik. Pada demensia dengan lewy bodies (DLB), yang secara klinis dicirikan dengan demensia progresiv, fluktuasi gangguan kognitif, perkembangan psikosis sebelumnya, pada saat atau segera setelah gejala motor Parkinson, inkontinensia urin sebagai keluhan awal, sedangkan alzhaimer (AD) terjadi pada perkembangan selanjutnya dari penyakit. Pada studi sekarang, dilakukan investigasi LUTS dan urodinamik serta sistometri yang berbeda pada PD,DLB dan AD. Kesimpulannya adalah  inkontinensia urgensi dan urge dipercaya sebagai overaktivitas detrusor, yang lebih muncul pada demensia dengan lewy bodies daripada PD dan AD, sedangkan rerata volume berkemih, aliran air kencing, sistometri kapasitas kandung kemih, tekanan derusor sama/ mirip pada semua group. Penilaian frekuensi berkemih tidak dapat dipercaya pada pasien dengan demensia.4

C. Patofisiologi BAK normal dan overaktivitas detrusor1

Saluran kencing bagian bawah memiliki dua komponen utama, yaitu kandung kemih dan uretra. Kandung kemih memiliki reseptor M2,3 yang melimpah dan reseptor beta 3 adrenergik, yang dipersarafi oleh serat kolinergik (parasimpatis), dan noradrenergik ( simpatis) untuk kontraksi dan relaksasi. Saluran kencing bagian bawah memiliki dua fungsi yang berbeda, yaitu menyimpan dan mengeluarkan urin, keduanya membutuhkan saraf utuh yang meliputi hampir semua bagian sistem saraf. Hal ini berlawanan dengan hipotensi ortostatik, dimana muncul akibat lesi dibawah medula.

Penyimpanan urin normal tergantung reflek otonom sakral. Reflek penyimpanan ini dipikirkan difasilitasi kuat oleh otak, khususnya pusat penyimpanan pontin. Pusat penyimpanan pontin terletak sebelah ventrolateral pusat berkemih pontin (PMC). Dan fungsi penyimpanan difasilitasi oleh hipothalamus, serebelum, ganglia basal, dan kortek frontal. Area – area ini terlihat diaktivasi selama penyimpanan urin melalui neuroimaging fungsional.

Berlawanan dengan hal diatas, BAK/berkemih  normal tergantung reflek otonom spino-bulbo-spinal, yang khususnya di daerah periakuaduktal gray matter midbrain (PAG) dan PMC. PAG dipercaya merupakan pusat pengaturan berkemih dan memiliki jangkauan input dari struktur yang lebih tinggi. Lokasi PMC di atau berdampingan / berdekatan dengan lokus careolus. PMC dipercaya mengaktifkan nucleus preganglionik sacral bladder dengan glutamate.sedangkan penekanan nucleus motor sacral uretral ( nucleus Onufs) oleh GABA dan glisin. Fungsi berkemih terlihat dimulai dan difasilitasi oleh struktur otak yang lebih tinggi, seperti hipothalamus dan kortek frontal, yang terlihat overlap/tumpang tindih dalam area penyimpanan-fasilitasi.

Overaktivitas detrusor bladder merupakan penyebab utama urgensi/frekuensi berkemih dan inkontinensia urin.  Lesi pada area dibawah batang otak, busur reflek berkemih adalah utuh dimana overaktivitas detrusor dipikirkan merupakan reflek berkemih yang berlebihan. Hal ini sejalan dengan fakta bahwa DO muncul setelah penelitian stroke membutuhkan sintesia mRNA didalam PMC. Reflek berkemih yang berlebihan mungkin dibawa oleh lebih dari penurunan hambatan di otak, dan mungkin difasilitasi oleh glutamatergik dan mekanisme dopaminergik D2.

Gambar jalur saraf pengaturan BAK

Sirkuit ganglia basal dan dopamine

Neuroimaging fungsional selama pengisian kandung kemih sebagai hasil aktivasi globus palidus pada sukarelawan yang normal dan di putamen pada pasien PD. Sebaliknya, imajing transporter dopamine lebih rendah pada pasien PD dengan gangguan urin daripada tanpa disfungsi urin. Overaktivitas detrusor (DO) dapat dihasilkan pada parkinsonism. Stimulasi elektrik pada substansia nigra pars kompakta menghambat reflek berkemih, dan tingkat/ level dopamine striatal meningkat signifikan pada fase penyimpanan urin pada percobaan binatang. Reflek berkemih berada dalam pengaruh dopamine ( penghambatan di D1 dan fasilitasi di D2 ) dan GABA ( penghambat). Kedua firing neuron SNc dan pelepasan dopamine striatal terlihat mengaktifkan jalur langsung yaitu D1-GABAergik dopamine, yang tidak hanya menghambat nuklei output ganglia basal tetapi juga dapat menghambat reflek berkemih melewati GABAergik yang berdekatan dengan sirkuit berkemih. Pemberian dopamine intraserebroventrikuler akan menghambat reflek berkemih dan stimulasi frekuensi tinggi pada nucleus subthalamik menyebabkan penghambatan kandung kemih pada percobaan binatang. Pada pasien PD, terputusnya jalur tersebut dapat menyebabkan overaktivitas dopamin dan urgensi/frekuensi berkemih.

Sebagai tambahan untuk serat nigrostriatal, area tegmental ventral (VTA) serat dopaminergik mesolimbik mungkin terlibat dalam kontrol berkemih. Pada binatang, lesi VTA menyebabkan overaktivitas kandung kemih yang berat daripada lesi di SNc. Stimulasi VTA menyebaban fasilitasi dan terminasi reflek berkemih. Disamping itu, DO pada PD mungkin tergantung oleh degenerasi VTA-saraf mesolimbik pada PD.

Gabar

Gambaran EMG pada videourodinamik, analisis tekanan aliran dan sphincter

a. Overaktivitas kandung kemih (DO)

Ketidaknormalan urodinamik fase penyimpanan pada PD meliputi penurunan kapasitas kandung kemih , bersamaan dengan overaktivitas detrusor (DO), yang merupakan bentuk kontraksi detrusor involunter pada 45-93% pasien dan tidak dihambatnya sphincter eksterna yang mengalami penurunan involunter aktivitas EMG sphincter, biasanya bersamaan dengan DO, pada 33% pasien PD. Temuan ini menunjukkan disfungsi suprasacral tipe parasimpatis dan somatik. Lebih dari itu, DO dapat merupakan faktor utama yang berperan dalam DO kandung kemih pada PD, yang ditemukan sama pada laki- laki dan perempuan. Ada hubungan antara DO dengan tahap penyakit, sehingga abnormalitas urodinamik relevan dengan lesi nigrostriatal dan VTA-mesolimbik pada pasien PD.

b. Kelemahan detrusor ringan dan obstruksi sphincter

Analisis tekanan aliran fase pasca berkemih pada PD menunjukkan aktivitas detrusor yang lemah selama berkemih ( 40% pada laki- laki dan 66% pada wanita ). Ada hubungan antara kelemahan detrusor dan tahap penyait. Subset pada PD memiliki DO selama penyimpanan tetapi memiliki kelemahan aktivitas derussor pada saat berkemih. Kombinasi ini diperkirakan terjadi pada 18% pasien pada PD. Overaktivitas detrusor ( DO) selama penyimpanan tetapi mengalami kelemahan aktivitas detrusor pada berkemih terlihat disebabkan karena faktor multiple daripada tunggal. Mekanisme yang memungkinkan untuk hal diatas yaitu tidak hanya penghambatan kandung kemih tetapi juga fasilitasi di area otak. Beberapa studi sebelumnya , digambarkan dissinergy detrusor sphincter eksterna. Walaupun demikian, dissinergy detrusor sphincter eksterna ini jarang terjadi. Sebaliknya, analisis tekanan aliran pasien PD dipercaya bahwa ½ pasien dengan PD memperlihatkan obstruksi yang ringan. Pasien dengan PD memiliki tekanan urethral istirahat yang tinggi, mungkin akibat minum obat, seperti levodopa, norepinefrin , yang dapat mengenai sphincter interna lewat reseptor alfa-1A/D adrenergic. Terlepas dari keluhan berkemih pasien PD, volume rerata residual pasca berkemih adalah 18 ml dan tidak ditemukan pasien yang memiliki volume residual pasca berkemih > 100 ml.

Diagnosis banding disfungsi berkemih

Overaktivitas detrusor bukan merupakan penyakit yang spesifik, dan umumnya terlihat pada degeneratif. Pada diagnosis banding PD dan MSA, residual pasca berkemih yang banyak, membukanya leher kandung kemih, dan perubahan neurogenik pada motor unit potensial sphincter sangat sering terjadi pada MSA, sedangkan keluhan- keluhan tersebut jarang terjadi pada PD, dipercaya hubungan PGN lumbosacral dan motor neuron sphincter sacral pada PD. Walaupun demikian, evidensi sekarang dipercaya bahwa PD dengan demensia , atau demensia dengan Lewy bodies, mungkin memiliki residual pasca berkemih yang besar dan perubahan neurologis pada motor unit potensial sphincter , dengan cara demikian menyerupai MSA.

D. Tatalaksana terapi disfungsi berkemih 

Percobaan terapi untuk mengobati overaktivitas detrusor yang berhubugan dengan urgensi, frekuensi, urge inkontinensia telah dikembangkan pada pasien non PD dengan sindroma neurogenik bladder dan memperlihatkan efikasi obat anti kolinergik. Pada satu studi, apomorphine dan L-dopa dapat memperbaiki DO pada pasien PD, dimana hasilnya tidak konsisten dengan studi lain. Beberapa laporan tentang efek DBS pada nucleus subtalamik dipercaya memperbaiki kapasitas kandung kemih dan meningkatkan volume pada saat berkemih. Pada studi kecil, desmopresin menurunkan frekuensi kencing malam hari pada 5 dari 8 pasien PD. Pendekatan pada PD mirip dengan pasien lanjut usia non PD dan harus mengetahui penebab yang mendasarinya, seperti akibat efek samping obat, infeksi, DM,dll. Sebagai tambahan, pengukuran volume residu pasca berkemih dan penilaian urodinamik dapat memberikan informasi yang berguna. Apabila nokturia menjadi keluhan utama, dapat diperbaiki dengan mengurangi minum air atau menghindari kopi pada malam hari. Penggunaa kateter uretra jangka panjang mungkin diperlukan dan menjadi ketergantungan ketika inkontinensia dan frekuensi tidak diterapi dengan baik.5

Terapi apa yang efektif untuk inkontinensia pada PD? Inkontinensia urin pada PD biasanya berhubungan dengan DO yang disebabkan disfungsi ganglia basal. Pada satu studi class III , menemukan apomorfin, merupakan agonis dopamine, digunakan pada 10 pasien dengan keluhan berkemih pada PD, menghasilkan perbaikan dalam efikasi voiding dan meningktkan rerata alran maksimal. Dua studi class IV, menemukan DBS pada nucleus subtalamik dapat memperbaiki kapasitas dan volume kandung kemih. Jadi, data terapi apomorfin dan DBS masih kurang.6

1. Obat dopaminergik1

Levodopa dan obat antiparkinson yang lain mungkin dapat berpegaruh terhadap fungsi kandung kemih pada PD. Aranda dan Cramer meneliti efek injeksi apomorfin 3-8 mg pada fungsi penyimpanan terhadap 2 pasien PD, dan menemukan peningkatan kapasitas kandung kemih. Mereka memberi levodopa oral pada salah satu pasien dan kapasitas kandung kemih meningkat. Kami membandingkan dengan frekuensi disfungsi kandung kemih pada de novo PD dan PD dengan levodopa. Pada studi tersebut LUTS lebih jarang terjadi daripada group yang diobati. Pada studi lain, setelah 3 bulan terapi dengan levodopa, parameter urodinamik penyimpanan sedikit membaik pada de novo PD.

Sebaliknya, pada de novo PD, penelitian berpusat pada pengaruh obat dopaminergik pada berkemih memiliki hasil tidak sama. Berdasarkan DO, beberapa melaporkan efek fasilitasi penyimpanan obat dopaminergik. Sebaliknya, Kuno dkk melaporkan perubahan terapi dari bromokriptin ( D2 selektif agonis ) ke pergolide ( D1,D2 agonis) berdampak terhadap penurunan nokturia. Yamato melaporkan perbaikan DO dengan pergolide. Benson dkk memberikan 2000 mg levodopa pada 2 pasien PD, dan kapasitas kandung kemih meningkat pada kedua pasien tersebut. Setelah menghentikan levodopa, kapasitas kandung kemih lebih meningkat pada 1 pasien tetapi menurun pada 1 pasien yang lain. Beberapa studi melaporkan efek fasilitasi berkemih obat dopaminergik. Fritz Maurice dkk melaporkan perkembangan PD dengan fenomena on-off , DO memburuk dengan levodopa pada beberapa pasien dan berkurang pada pasien yang lain. Winge dkk menemukan efek berkemih dengan terapi obat dopaminergik tidak dapat diprediksi. Studi saat ini memperlihatkan bahwa pada PD tahap awal dan tahap lanjut dengan fenomena on-off, levodopa dosis tunggal dapat mengeksaserbasi DO pada fase pengisian. Kami tidak mengetahui alasan yang pasti atas ketidakcocokan ini.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kebiasaan berkemih pada non denovo PD. Pada studi binatang, levodopa intra vena / intraperitoneal untuk memfasilitasi reflek berkemih pada tikus, yang dapat bekerja di otak, spinal cord dan perifer. Reseptor post sinaps dopamin D1 dan D2 memiliki daya tarik milimolar terhadap dopamine, dimana autoreseptor dendrit D2 memiliki daya tarik pikomolar terhadap dopamine. Jadi, ketika levodopa diberikan eksternal, awalnya mungkin akan menstimulasi autoreseptor D2 dendrit, yang mungkin dapat menekan NSDN dan memfasilitasi reflek berkemih.

Pada kasus PD dengan terapi levodopa jangka panjang, reseptor dopamine kurang diregulasi dan potensi alergi dapat terjadi. Sel dopaminergik A21 yang terletak di hipothalamus dorsal-posterior yang berpengaruh terhadap marmot dengan MPTP induced parkinsonism. Group sel ini turun sebagai satu-satunya sumber dopamin spinal terutama melewati funikulus dorsolateral , berhubungan dengan dorsal horn superficial dan neuron preganglionik sacral. Hiperaktivitas kandung kemih ( DO ) mungkin juga meliputi aktivasi reseptor D2 di spinal cord. Reseptor dopamine D1 dan D2 perifer juga terletak di kandung kemih walaupun aturan yang benar belum bisa dijelaskan.

2. Obat kolinergik

Antikolinergik secara umum digunakan sebagai lini pertama DO. Ketika dosis obat meningkat, residu pasca berkemih mungkin muncul. Mulut kering dan konstipasi sering terjadi.1 Obat ini juga dapat menyebabkan gejala obstruksi atau retensi urin parsial serta menyebabkan frekuensi dan urgency urinary.3  Gangguan kognitif anti kolinergik sering muncul dengan bertambahnya usia. Sebagai contoh, THP (untuk PD) dan oxybutirin (untuk DO) telah diperlihatkan memiliki efek samping sentral. Faktor yang berpengaruh terhadap efek sentral mungkin meliputi reseptor sub tipe dan penetrasi BBB. Kortek serebral memiliki reseptor M1 muskarinik yang melimpah. Sedangkan anikolinergik pada umumnya bersifat rseptor non-selektif, darifenacin memiliki aksi M3 agonis selektif diantara faktor – faktor dalam penetrasi BB, difusi difasilitasi oleh ukuran molekuler yang paling rendah (<450-500 KDa), area polar paling kecil (<90A) dan lipofilik. Khusus untuk usia tua yang memiliki halusinasi atau penurunan kognitif, antikolinergik terus diberikan dengan perhatian khusus.1

3. Terapi lain

Ketika terapi lini pertama gagal, terapi lini kedua dapat diberikan. Aksi kerja utama neuron 5-HT atau serotoninergik sentral pada LUT adalah memfasilitasi penyimpanan urin. Pada PD, kelemahan sel saraf nucleus raphe telah didokumentasikan. Untuk itu, obat serotninergik seperti duloxetine dan milnaciplan (keduanya merupakan re uptake inhibitor serotonin dan nor epinefrin ) dapat menjadi pilihan terapi DO pada PD, walaupun kegunaan klinis obat serotoninergik pada kandung keih masih menunggu klarifikasi lebih lanjut. Ketika meresepkan oat-obatan ini, dampak terhadap GIT dan efek sedative harus diperhatikan.1

Poliuri nocturnal merupakan faktor pada nokturia geriatri dimana seharusnya dibedakan dengan DO. Pada pasien PD, keseimbangan antar produksi urin nocturnal dan diurnal dapat diamati pada PD. Dilaporkan bahwa irama sirkadian arginine-vasopresin hilang pada parkinsonism. Terapi dengan desmopresin, merupakan analog arginin-vasopresin poten terbukti efektif menurunkan nokturia pada PD. Hiponatremia dan retensi air harus diperhatikan ketika menggunakan obat ini. Secara umum, pengobatan ini digunakan untuk nokturia.1 Dosis desmopresin spray 10 mcg/malam.2

Obat untuk detrusor yaitu oxybutynine 5-15 mg/hari, dan tolterodine 2-4 mg/ hari. Untuk hiperrefleksia, dapat diberikan trospiuchloride 20-40mg/hari. Sedangkan betenechol chloride 25-75 mg/hari dapat berguna untuk retensio urin. 2.3

Nucleus sub thalamik (STN) dipercaya sebagai kunci area jalur tidak langsung, dimana dominan pada PD. Deep brain stimulatin (DBS) pada STN akan menghambat berbagai sel di STN mungkin akibat blok depolarisasi dan pelepasan GABA dari aktivasi afferent inhibitor akhir. Pada STN, firing saraf berhubungan dengan siklus berkemih. DBS pada STN terbukti memiliki efek penghambatan terhadap reflek kencing pada binatang dan pada pasien PD. DBS pada STN juga meningkatkan kapasitas kandung kemih dan fasilitasi jalur kandung kemih afferen pada otak pasien PD.1

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

1. Sakakibara R, Uchiyama T,Yamanishi T,Kishi M. Genitourinary dysfunction in

Parkinson’s Disease. Movement Disorders, Vl 25,No. 1, 2010,pp.2-12, available at www.  

    interscience.wiley.com

2. Poewe W. Nonmotor Symptoms in Parkinson’s disease. Parkinson’s Disease and

Movement  Disorders, fifth ed, Lippincott Williams & Wilkins,Philadelphia USA,2007

P.67-70

3. Mehrotra TN. Autonomic and Vegetativ Functions in Parkinson’s Disease. Parkinson’s

Disease and Movement Disorders, Mc Graw Hill, India, 2008, p.115-116

4. Ransmayr G.N. Lower urinary tract symptoms in dementia with Lewy bodies. Parkinson

   disease, and Alzheimer disease, American Academy of Neurology , 2008;70;299-303

5. Poewe W, seppi K. Managing the Non-Motor symptoms of Parkinson’s disease.

Therapeutics of parkinson’s Disease and Other Movement disorders, first ed, Wiley

Blackweel, USA, 2008, p. 106-109

5. Zesiewicz TA, Sullivan K.L, et all. Treatment of nonmotor symptoms of Parkinson

   disease. American Academy of Neurology .2010;74:924-931

Tinggalkan komentar